Seruan
akan kebutuhan tentang sistem pencegahan konflik menyeruak dalam diskusi buku
“Sesuai Perang Komunal” Selasa 20 November lalu di Jakarta (Kompas, 20 November
2012). Keresahan ini bukanlah hadir dari ruang hampa. Dalam dua bulan terakhir
sudah terjadi tiga konflik sosial yang menelan 15 korban meninggal, ratusan
rumah terbakar, dan ribuan warga lainnya mengungsi. Dua diantaranya berlokasi
di Lampung dan satu sisanya terjadi di Bireun, Aceh. Tidak menutup kemungkinan
konflik-konflik di tempat lain bahkan di tempat yang sama pun akan terjadi
kembali. Terlebih mengingat perangkat hukum tentang konflik sosial hanyalah UU
No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial (PKS), yang sesuai namanya,
masih terfokus pada penanganan konflik dan bukan pada pencegahan konflik.
Urgensi adanya sebuah sistem pencegahan konflik sosial antara
lain: (i) untuk mengenali dan menghindari bentuk-bentuk konflik destruktif dan
berbagai dampak buruknya, (ii) pencegahan konflik merupakan instrumen yang
lebih baik dan efisien dibandingkan upaya resolusi konflik, (iii) untuk
mencegah permusuhan laten agar tidak berkembang menjadi manifest, (iv) serta
menghalangi terjadinya eskalasi dan kekerasan lanjutan. Dari uraian tersebut
terlihat bahwa karakter dasar sistem pencegahan konflik sosial adalah mobilisasi
semua sumber daya untuk mencegah konflik bergerak menjadi tindak kekerasan.
Sistem pencegahan konflik fokus untuk mencegah konflik menjadi
kekerasan. Terjadinya konflik menjadi kekerasan terkait erat dengan proses
penyelesaian konflik pada awalnya dan hal ini terkait dengan kemampuan
pemerintah dan masyarakat untuk menyelesaikan konflik. Oleh karena itu,
pencegahan konflik diarahkan untuk menciptakan kondisi yang mendorong
penyelesaian konflik secara dini dan meningkatkan kemampuan pemerintah dan
masyarakat untuk menyelesaikan konflik sebelum berkembang menjadi kekerasan.
Pada dasarnya kerangka kerja pencegahan konflik di Indonesia disusun untuk
memperkuat ketahanan masyarakat dan pemerintah dalam mengatasi persoalan
sosial-politik-ekonomi agar tidak berkembang menjadi kekerasan.
Sistem pencegahan konflik atau kerangka kerja pencegahan konflik
pada dasarnya adalah sebuah sistem manajemen untuk mengembangkan pengetahuan
tentang konflik dan cara-cara pencegahannya. Sumber daya untuk pencegahan konflik
tidak lagi terpisah-pisah namun terpusat pada struktur koordinatif yang
memobilisasi sumber daya-sumber daya tersebut untuk digunakan secara efektif.
Pencegahan konflik bukan merupakan reaksi ad hoc atas
persoalan-persoalan konflik. Pencegahan konflik merupakan strategi struktural
dan operasional jangka menengah dan panjang yang dilakukan secara proaktif oleh
pelbagai aktor untuk mengidentifikasi dan membuat kondisi yang memungkinkan
bagi lingkungan aman yang lebih stabil dan terprediksi (Carment dan Schnabel,
2003).
Upaya pencegahan konflik bisa dilakukan dengan: (1) membangun
mekanisme peringatan dini (early warning system) yang memungkinkan
setiap institusi memonitor hubungan inter-state, inter-society,
dan antara state dan society, (2) membangun atau
mengembangkan mekanisme institusional untuk mencegah intensitas eskalasi
konflik, (3) memfasilitasi peningkatan kapasitas masyarakat yang rentan
konflik. Ketiga metode pencegahan konflik tersebut perlu dikaitkan dengan
menurunnya kapasitas kelembagaan lokal, lemahnya kapasitas lembaga negara, dan
kebijakan pemerintah yang mengabaikan konteks lokal. Dari hasil sintesa antara
faktor penyebab konflik dan metode pencegahannya maka Tim LIPI merumuskan
beberapa pilihan strategis pencegahan konflik (Ju Lan dan Triatmoko,
2012).
Hasil pemetaan Tim LIPI menyebutkan ada tujuh faktor persoalan
strategis yang harus diatasi agar tidak berpotensi menjadi konflik kekerasan
sebagai landasan penyusunan kerangka pencegahan konflik yang sedang
dikembangkan. Tujuh faktor tersebut antara lain (1) distorsi kebijakan
publik; (2) patologi birokrasi; (3) ketimpangan sosial-ekonomi; (4) perebutan
sumber daya dan akses ekonomi; (5) adat, kebudayaan, dan identitas; (6) legal
justice; dan (7) distorsi penanganan keamanan. Kerangka kerja
pencegahan konflik terhadap ketujuh faktor tersebut disusun sesuai dengan
tahapan konflik yang berbeda yaitu pra konflik, masa konflik, dan pasca konflik
dengan mengacu pada kondisi-kondisi: daerah rawan konflik (sering terjadi
konflik), daerah yang berpotensi konflik (intensitas konflik dalam skala
sedang/menengah), dan daerah normal (tidak pernah atau sangat jarang mengalami
konflik).
Harapan dari penyusunan kerangka kerja pencegahan konflik yang
disusun Tim LIPI adalah untuk membekali para pemangku kepentingan dengan
sensitifitas terhadap isu-isu konflik dalam setiap perencanaan dan pelaksanaan
kebijaka. Kerangka kerja pencegahan konflik juga diharapkan dapat menjadi
panduan operasional bagi kerja-kerja pencegahan konflik. Dengan kata lain diharapkan
para pemangku kepentingan menguasai manajemen pencegahan dan pengelolaan
konflik.
Praktisi kebijakan seharusnya memiliki kemampuan analisa untuk
memastikan validitas dan reliabilitas evaluasi potensi konflik. Sementara itu,
kelompok-kelompok masyarakat seperti akademisi, NGO, dan bahkan kelompok private harus
memiliki kemampuan mengenali potensi ancaman dan analisa peringatan dini (early
warning analysis). Namun tentu saja yang paling penting adalah kembali
adanya political will dari pemerintah untuk mengadopsi sistem
pencegahan konflik dalam kebijakannya. Tanpanya maka seperangkat konsep ini
hanya menjadi basa-basi diskusi dan remah-remah proyek yang tidak berkesudahan. (Yogi
Setya Permana)
Sumber : http://www.politik.lipi.go.id/index.php/in/kolom/politik-nasional/757-urgensi-sistem-pencegahan-konflik-sosial-di-indonesia
8 April 2017, 11.00.28 WIB